WELCOME TO HIMMAH NW's BLOG

Minggu, 29 April 2012

MASA PENGABDIAN DI TANAH AIR


1. Membuka Pesantren Al-Mujahidin Dan Pengajian Umum
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid setelah selarna 12 tahun menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah, diperintah gurunya, Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath kembali ke kampung halamannya di Indonesia untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan mendorong terbentuknya tatanan moralitas dan akhlaq yang mulia di kalangan saudara seiman dan masyarakat pada umumnya. Perintah gurunya ini, sempat ditolaknya dengan mengemukakan argumentasi, bahwa ia masih ingin tetap belajar, bahkan ia ingin tetap tinggal dan mengabdi di Tanah Suci saja. Namun gurunya tetap menolak argumentasinya itu, karena peranannya di Indonesia akan lebih bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan pemberdayaan terhadap masyarakat, dibandingkan jika ia tetap berada di Makkah.
Setelah sampai di tanah kelahirannya, masyarakat langsung mempercayainya sebagai imam dan khatib. Jabatan sebagai imam dan khatib pada saat itu merupakan posisi yang penting dalam masyarakat, setidaknya, karena posisi tersebut umumnya diisi oleh seseorang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang tinggi, atau biasa disebut “Tuan Guru” dalam kultur masyarakat Lombok.
Disamping menjadi imam dan khatib, ia juga banyak melakukan safari dakwah ke berbagai tempat di pulau lombok, sehingga ia mulai dikenal secara luas oleh masyarakat. Masyarakat menyebutnya sebagai seorang anak muda ‘alim yang memiliki integritas keilmuan, sehingga ia disebut dengan “Tuan Guru Bajang”.
Sebutan Tuan Guru Bajang diperoleh setelah melalui serangkaian proses uji di tengah-tengah masyarakat. Sekedar contoh, Tuan Guru Haji Mukhtar dari Mamben tidak dengan serta merta mengamini sebutan tersebut. Ia melakukan verifikasi terlebih dahulu dengan sejumlah pertanyaan sebagai test case terhadap kapabilitas keilmuannya. Setelah memperoleh jawaban-jawaban yang memuaskan, maka Tuan Guru Haji Mukhtar mengakui kemampuannya, bahkan bertekad untuk mengirim anggota keluarganya untuk menimba ilmu padanya.
Setelah mempunyai reputasi di masyarakat, ia kemudian mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. sebagai tempat pembelajaran agama secara langsung bagi kaum muda. Pendirian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk memberikan pelajaran agama yang lebih bermutu kepada masyarakat, karena pada saat itu umumnya para tuan guru dalam mengajarkan agama lebih banyak menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, seperti Bidayah, Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.
Pada awalnya Pesantren al-Mujahidin menerapkan sistem pembelajaran dengan metode halaqah. Namun kemudian sistem ini dipandang kurang efektif, karena pertama, sulitnya mengukur tingkat keberhasilan prestasi santri, dan kedua, tidak dapat mengawasi secara maksimal proses pembelajaran yang efektif. Akan tetapi, untuk menggantinya dengan sistem klasikal murni, masih menghadapi kendala, terutama pada persoalan kategori usia santri. Untuk itulah maka ia memperkenalkan sistem semi klasikal, dengan gambaran ada beberapa perangkat kelas, seperti papan tulis, sementara para santri tetap duduk di lantai dengan bersila. Di samping itu, masih belum ada pembatasan usia.
Sistem semi klasikal ini, ternyata menarik perhatian masyarakat setempat dan juga sangat di senangi oleh para santri. Hingga dalam waktu yang singkat telah terdaftar ± 200 orang santri. Para santri tidak saja berasal dari desa Pancor, tetapi juga dari luar. Melihat fenomena ini, ayahnya langsung nembuat lokal-lokal kelas darurat di serambi dan di belakang rumahnya. Prosesi belajar mengajar di pesantren ini, berlangsung dari pukul 05.00 - 06.00 WIT, yang dikhususkan untuk masyarakat dari kalangan orang-orang tua. Mereka juga disediakan waktu pada malam hari. Adapun untuk anak-anak muda pelajaran dimulai dari jam 14.00 - 17.00 WIT.
Reputasinya semakin menjulang di kalangan masyarakat, sehingga ia diminta untuk memberikan pengajian tetap di Masjid Jami’ Pancor, Lombok Timur. Pengajian tersebut dimulai dari jam 09.00 - 12.00 WIT [sampai tiba waktu dzuhur]. Pengajian tersebut dihadiri oleh masyarakat luas, dari kalangan tua, muda dan bahkan para tuan guru, seperti Tuan Guru Haji Abu Bakar Sakra, Abu Atikah, Tuan Guru Haji Azhar Rumbuk, Raden Tuan Guru H. Ibrahim Sakra, dan lain-lain. Bahkan juga hadir gurunya yang bernama Tuan Guru Haji Syarafuddin dari Pancor, turut juga dalam pengajian tersebut Haji Ahmad Jemberana dari Bali.
Kitab-kitab yang dikaji dalam pengajian tersebut adalah kitab Minhaj al-Thalibin, Jam’al al-Jawami, Qatr al-Nada, Tafsir al-Jalalain dan lain-lainnya dari kitab-kitab Fiqih dan Tafsir.

MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL WATHAN DINIYAH ISLAMIYAH [NWDI]

Keberhasilan TGH. Zainuddin dalam memberikan pengajian menimbulkan banyak iri dari orang lain yang merasa tersaingi,  berbagai cobaan, tantangan, dan berbagai reaksi minor dari masyarakat belum reda, maka ada sebuah harapan datang, ketika seorang familinya, Haji Syazali menawarkan tanahnya menjadi tempat pendirian madrasah. Tawaran tersebut diterima dengan senang hati.
Untuk merespon tawaran tersebut, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, kalangan keluarganya dan tokoh-tokoh masyarakat bermusyawarah untuk merealisasikan cita-cita mendirikan madrasah. Fisik bangunan madrasah pada awalnya tendiri dari 10 [sepuluh] lokal kelas yang terdiri dari: 2 [dua] lokal untuk Bustan al-Athfal, 7 [tujuh] lokal untuk ruang belajar; dan 1 [satu] lokal untuk ruang guru/kantor. Bangunannya sangat sederhana, bendinding pagar, dengan tiang bambu dan beratap genteng.
Setelah pembangunan fisik madrasah dianggap selesai dan telah dirumuskan berbagai persiapan untuk aktifitas belajar-mengajar, maka Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mengajukan sebuah permohonan pendirian madrasah kepada pemerintah Hindia Belanda Kontrober Oost Lombok di Selong Lombok Timur. Kemudian pemerintah Belanda memberikan surat izin akte pendirin madrasah tersebut pada tanggal 17 Agustus 1936 M. Selanjutnya selang satu tahun berikutnya, yakni pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, yang bertepatan dengan tanggal 22 Agustus 1937 madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah lslamiyah [NWDI] diresmikan.
Bagi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, tanggal 17 Agustus 1936 di atas memiliki makna signifikan dan monumental, karena 9 [sembilan] tahun kemudian, yakni tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kondisi ini merupakan hikmah tersendiri dalam perjalanan sejarah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiah.
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah sebagai nama madrasah, adalah nama yang berasal dari bahasa Arab. Secana etimologis, Nahdlah, berarti penjuangan, kebangkitan, dan pergerakan. Wathan, berarti tanah, bangsa atau negara. Sedangkan Diniyah Islamiyah, berarti agama Islam. Nama tersebut merefleksikan suasana psikologis dan kondisi sosial pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan jargon-jargon jihad’ [penjuangan] untuk menggelorakan semangat patriotisme dalam melakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonialisme Belanda dan Jepang, serta upaya memberdayakan pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat yang sedang terpuruk dan terbelakang.
Dalam operasionalisasinya, Madrasah NWDI pada mulanya diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu: tingkat Ilzamiyah, Tahdhiriyah dan Ibtida’iyah. Tingkat Ilzamiyah adalah tahap pernsiapan dengan lama belajar satu tahun. Murid-murid pada tingkatan ini terdiri dari anak-anak yang belum mengenal huruf Arab dan huruf latin. Tingkat Tahdhiriyah adalah kelanjutan dari tingkat Ilzamiyah dengan lama belajar tiga tahun. Murid-muridnya selain berasal dari lulusan tingkat Ilzamiyah, juga diterima lulusan dari sekolah dasar [Volgschool]. Materi pelajaran yang diberikan adalah tauhid, fiqh, dan pengetahuan dasar Qawa’id al-Lughah al-Arobiyyah. Sedangkan tingkat Ibtida’iyah adalah tingkatan terakhir setelah Tahdhiriyah dengan lama belajar empat tahun. Tingkatan ini selain menerima murid dari lulusan Tahdhiriyah, juga menerima dari lulusan sekolah dasar [volgschool]. Materi pelajaran pada tingkatan ini difokuskan pada materi Kitab Kuning, seperti Nahwu, Sharf Balaghah, Ma’ani, Badi’, Bayan, Manthiq, Ushul al-Fiqh, Tashawwuf dan lain-lain. Khusus pada kelas tenakhir [rabi’ ibtida’iy], semua pelajaran agama mengacu kepada kurikulum madrasah al-Shaulatiyyah. Aktivitas belajar mengajar pada semua tingkatan dimulai dari pukul 07.30 - 13.00 WITA.
Madrasah ini selanjutnya terus mengalami kemajuan dan perkembangan sehingga oleh pendirinya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, bertepatan dengan tanggal 22 Agustus 1937 M, dipandang sebagai momentum kemenangan moral perjuangan menegakkan syiar Islam. Sehingga saat itu dan setiap tahunnya diperingati sebagai hari ulang tahun berdirinya madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah yang kemudian populer disebut dengan HULTAH NWDI.
Berdirinya madrasah NWDI di Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 1937, mencatat sejarah baru dalam perkembangan pendidikan Islam di Nusa Tenggara Barat. Paling tidak dengan penerapan sistem klasikal dan klasifikasi siswa berdasarkan tingkatan, maka orang mulai mengenal pendidikan Islam dengan sistem klasikal dan berjenjang, sebagaimana pendidikan umum, seperti Sekolah Rakyat, atau sekolah-sekolah yang didirikan pada masa kolonial. Atas dasar inilah, madrasah ini dipandang sebagai pelopor pendidikan Islam modern di NTB.

MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL BANAT DINIYAH ISLAMIYAH [NBDI]
Berangkat dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Madrasah NWDI, kemudian melahirkan gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan agama yang dikhususkan untuk kaum perempuan. Karena, pada masa Pesantren Al-Mujahidin, mereka juga mendapat kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki.
Gagasan mendirikan madrasah dimaksud dilatar belakangi oleh kondisi sosial perempuan pada saat itu yang tersubordinasi oleh hegemoni kaum laki-laki. Padahal keberadaannya memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bentuk peranan aktual perempuan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dimulai dan peranannya sebagai ibu rumah tangga dalam lingkup keluarga. Peranan ini memiliki signifikansi dalam pembentukan karakter keluarga, seperti pendidikan anak, yang akhirnya menentukan karakter masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Di sisi lain, gagasan pendirian madrasah khusus untuk kaum perempuan ini, merupakan pengejawantahan dari hadits Rasulullah SAW mengenai kewajiban menuntut ilmu bagi kaum perempuan sama dengan kewajiban bagi kaum laki-laki.
Sebagai realisasi dari pemikiran-pemikiran tersebut, maka pada tanggal 15 Rabi’ul akhir 1362 H bertepatan dengan tanggal 21 April 1943, resmilah berdiri sebuah madrasah khusus kaum perempuan yang diberi nama dengan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah [NBDI].
Seperti halnya Madrasah NWDI, Madrasah NBDI juga memiliki makna khusus bagi pendirinya. Setidaknya karena tanggal dan bulan berdirinya dikemudian hari dikenal sebagai hari Kartini sebagai tonggak bagi kebangkitan peran aktualisasi perempuan di Indonesia. Dalam operasionalisasinya, Madrasah NBDI dipimpin langsung oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dan dibantu oleh Ustaz Lalu Faishal, Ustaz Lalu Wildan, Ustaz Dahmuruddin Mursyid, dan lain-lain.
Pada awalnya, Madrasah NBDI dipusatkan di lokasi pesantren al-Mujahidin pada sebuah bangunan yang terdiri dari tiga buah local, dengan waktu belajar dari pukul 13.30 - 17.00 WITA. Sementara materi pelajarannya mengacu kepada kurikulum Madrasah NWDI.

DINAMIKA PERJALANAN MADRASAH NWDI DAN NBDI
Setelah posisi kedua madrasah induk itu semakin mantap, ditambah berkembangnya cabang-cabang di berbagai daerah, maka Madrasah NWDI dan NBDI melakukan upaya-upaya pengembangan konstruktif dalam bidang kurikulum, jenjang, dan jenis madrasah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada mulanya, semua kurikulum dan jenjang madrasah disesuaikan dengan sistem yang berlaku di Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah. Namun pada tahun 1951, tingkat Tahdhiriyah ala Makkah itu di reformulasi menjadi Ibtida’iyah ala Indonesia, yaitu Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, dengan kompisisi 60 % pengetahuan agama dan selebihnya, yaitu 40 % diberikan pengetahuan umum. Dan sebagai kelanjutannya, pada tanggal 2 November 1952 dibuka Sekolah Menengah Islam [SMI] dengan lama belajar tiga tahun. Pada tahun yang sama, dibuka pula Madrasah Mu’allimin 4 tahun, Madrasah Mu’allimat 4 tahun, dan Pendidikan Guru Agama Pertama [PGAP]. Seperti halnya tujuan pendirian SMI, madarasah dan sekolah ini juga bertujuan menampung lulusan Madasarah Ibtida’iyah 6 tahun.
Selanjutnya pada tahun 1955/1956 dibuka Madrasah Muballighin dan Muballighat. Pada tahun 1957 dibuka Madrasah Mu’allimin 6 tahun dan Madrasah Mu’allimat 6 tahun. Keduanya merupakan perubahan dari Madrasah NWDI dan NBDI. Dua tahun kemudian, pada tahun 1959, diresmikan berdirinya Madrasah Menengah Atas [MMA], Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Pendidikan Guru Agama Lengkap [PGAL].
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan dibukanya lembaga pendidikan tinggi. Dimulai pada tahun 1964, dengan didirikannya Akademi Paedagogik Nahdlatul Wathan. Selanjutnya pada tahun 1965 dibuka Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits A1-Madjidiyah Asy-Syafi’iyyah Nahdlatul Wathan, yang mahasiswanya khusus pria dan Ma’had lil Banat yang dibuka pada tahun 1974, dengan mahasiswa khusus perempuan. Pada tahun 1977 didirikan Universitas HAMZANWADI.
Universitas yang disebut terakhir di atas, pada mulanya membuka dua fakultas, yakni Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Fakultas Ilmu Pendidikan ini berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan [STKIP] HAMZANWADI dan Fakultas Tarbiyah dirubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah [STIT]. Kemudian pada tahun 1981 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah [STIS], dan pada tahun 1987 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Hukum [STIH].
Pada tahun akademik 1987/1988 diresmikan berdirinya Universitas Nahdlatul Wathan yang berkedudukan di Mataram, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk tahap pertama dibuka 4 [empat fakultas], yaitu Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Perkebunan, Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan [FKK], dan Fakultas Sastra [Indonesia, Arab, dan Inggris].
Disamping pendidikan tinggi, pada tahun 1974 mulai dibuka pendidikan umum, seperti Sekolah Menengah Pertama [SMP], Sekolah Menengah Atas [SMA], sekolah kejuruan, yakni Sekolah Pendidikan Guru [SPG].
Di luar madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi, para santri Madrasah NWDI dan NBDI melakukan kegiatan pendidikan kemasyarakatan yang diberi nama Pemberantasan Buta Agama [PBA]. Pendidikan ini dikhususkan bagi anggota masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi mengikuti pendidikan formal kemadrasahan.
Perkembangan dibidang kurikulum, semenjak perubahan kurikulum tingkat Tahdliriyyah NWDI terus berlangsung, sehingga terbentuk komposisi, sebagai berikut:
  1. Madrasah dan PGA mengikuti kurikulum dari Departemen Agama.
  2. Sekolah umum mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [Sekarang Departemen Pendidikan Nasional]
  3. Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat menggunakan kurikulum agama 55 % dan umum 45 %.
  4. Perguruan proyek khusus Nahdlatul Wathan memakai kurikulurn agama 90 % dan umum 10 %.
  5. Perguruan tinggi mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Kelembagaan Agama Islam [Bagais] Departemen Agama.
Satu ciri khas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Wathan, disamping menggunakan kurikulum agama, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah, juga diberi pengetahuan agama, yang bersumber dari kitab-kitab karangan Imam Syafi’i. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar bahwa Nahdlatul Wathan menganut mazhab Syafi’i, maka pengetahuan agama dan kitab-kitab Syafi’i adalah untuk diamalkan di kalangan warga Nahdlatul Wathan. Di samping itu juga diberikan materi pelajaran Ke Nahdlatul Wathan-an [Ke-NW-an] sebagai suatu materi pelajaran tersendiri di lingkungan perguruan Nahdlatul Wathan pada umumnya.
Pesatnya perkembangan Madrasah di lingkungan Nahdlatul Wathan, membenikan citra tersendiri bagi pendirinya. Sehingga mendapat julukan sebagai Abu Al-Madaris Wa Al-Masajid [Bapak Madrasah dan Mesjid] oleh komunitas masyarakat Praya, Lombok Tengah.
MENDIRIKAN ORGANISASI NAHDLATUL WATHAN [NW]
1.      Pengertian dan Latar Belakang Berdirinya
Organisasi Nahdlatul Wathan, yang selanjutnya disingkat NW, adalah sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah. Onganisasi ini didirikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada hari Ahad tanggal, 15 Jumadil Akhir 1372 H bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1953 M di Pancor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini adalah karena melihat pertumbuhan dan perkembangan cabang-cabang Madrasah NWDI dan NBDI yang begitu pesat, di samping perkembangan aktivitas sosial lainnya, seperti majlis dakwah dan majlis ta’lim dan lainnya. Untuk itu diperlukan suatu wadah atau organisasi yang mewadahi dan mengorganisir segala macam bentuk kebutuhan dan keperluan pengelolaan lembaga-lembaga tersebut secara profesional.
Kemudian dalam rangka konsolidasi organisasi, Nahdlatul Wathan telah melaksanakan rapat anggota untuk tingkat ranting, konfrensi untuk tingkat Anak Cabang, Cabang, Daerah, Wilayah dan Perwakilan. Sedangkan untuk tingkat Pengurus Besar diselenggaran muktamar.
Selanjutnya, setelah mengadakan muktamar I, hingga meninggalnya Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, organisasi Nahdlatul Wathan tercatat telah mengadakan muktamar sebanyak 10 kali. Adapun tempat, tanggal dan tahun terselenggaranya Muktamar tersebut, adalah sebagai berikut :
1.      Muktamar I tanggal 22-24 Agustus 1954 di Pancor
2.      Muktamar II tanggal 23-26 Maret 1957 di Pancor
3.      Muktamar III tanggal 25-27 Januari 1960 di Pancor
4.      Muktamar IV tanggal 10-14 Agustus 1963 di Pancor
5.      Muktamar V tanggal 29 Juli .- 1 Agustus 1966 di Pancor
6.      Muktamar VI tanggal 24-27 September 1969 di Mataram
7.      Muktamar VII tanggal 30 Nopember – 3 Desember 1973 di Mataram
8.      Muktamar Kilat Istimewa 28-30 Januari 1977 di Pancor
9.      Muktamar VIII tanggal 24-25 Februari 1986 di Pancor
10.  Muktamar IX tanggal 3-6 Juli 1991 di Pancor

2.      Legalitas Organisasi
Sebagai sebuah organisasi formal, eksistensi Nahdlatul Wathan mendapatkan legalitas yuridis formal berdasarkan akte Nomor 48 tahun 1957 yang dibuat dan disahkan oleh Notaris Pembantu Hendrix Alexander Malada di Mataram. Akte ini bersifat sementara, karena wilyah yurisdiksinya hanya di Pulau Lombok, sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan organisasi ke luar wilayah yurisdiksi tersebut.
Untuk itu, dibuat akte nomor 50, tanggal 25 Juli 1960, di hadapan Notaris Sie Ik Tiong di Jakarta. Kemudian pengakuan dan penetapan juga diberikan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. J.A.5/105/5 tanggal 17 Oktober 1960, dan dibuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 90, tanggal 8 November 1960.
Dengan legalitas akte kedua ini, maka organisasi Nahdlatul Wathan mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengembangkan organisasinya ke seluruh wilayah negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sehingga setelah tahun 1960, maka terbentuklah pengurus Nahdlatul Wathan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Kalimantan, Sulawesi, danlain-lainnya, bahkan sampai ke daerah Riau dengan status perwakilan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang keormasan yang antara lain berisi tentang penerapan Asas Tunggal bagi semua organisasi kemasyarakatan, maka Nahdlatul Wathan dalam Muktamar ke-8 di Pancor, Lombok Timur pada tanggal 15-16 Jumadil Akhir 1406 H atau tanggal 24-25 Februari 1986 mengadakan peninjauan dan penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini kemudian dikukuhkan dengan Akte Nomor 3l tanggal 15 Februari 1987 dan Akte Nomor 32, juga tanggal 15 Februari 1987, yang dibuat dan disahkan oleh waki1 Notaris Sementara Abdurrahim, SH. di Mataram. Dengan demikian, maka jelaslah eksistensi dan legalitas formal organisasi Nahdlatul Wathan sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan.

3.      Aqidah, Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup Organisasi
Organisasi Nahdlatul Wathan menganut faham aqidah Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i dan berasaskan Pancasila sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985. Sejak awal berdirinya, organisasi berasaskan Islam dan kekeluargaan. Asasnya berlaku hingga Muktamar ke-3, dan kemudian diganti dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i. Perubahan ini terjadi mengingat khittah perjuangan kedua madrasah induk, NWDI dan NBDI.
Adapun sebagai landasan argumentasi Nahdlatul Wathan menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i adalah sebagai berikut :
1.      Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Bukhari dalam Tarikh al-Kabir al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imam, Abu Dawud, Ibn Huzaimah, Ibn Hibban dan lain-lain yang artinya :

 “Hendaklah kamu bersama golongan terbesar [mayoritas] dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas, maka barang siapa yang memisahkan diri [dari komunitas jama’ah] maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang ahli neraka.” [HR Tirmidzi].

 “Allah tidak menghimpun ummat ini dalam kesesatan selama-lamanya dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas.” [HR al-Thabrani].
2.      Fakta sejarah menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam sedunia dari abad ke abad adalah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah  dan bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat dari sejak lahir madzhab itu.
3.      Umat Islam Indonesia sejak awal telah menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan menganut madzhab Syafi’i sejak madzhab masuk ke Indonesia.
4.      Imam-Imam Hufadz al-Hadits yang telah hafal beratus-ratus ribu hadits yang diakui oleh kawan atau lawan akan keimanan, ketaqwaan dan keahilan mereka, serta karangan mereka telah menjadi pokok dan dasar pegangan umat Islam sedunia sesudah al-Qur’an al Karim, sepenti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Baihaqi, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Hakim dan lain-lainnya dan ratusan Imam ahli al-hadits. Semuanya menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhah Syafi’i atau yang lainnya dari madzhah yang empat. Demikian juga dari Imam-imam dan ulama fiqh, ushul, tasawwul merekapun menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan juga bermadzhab.
5.      Jumhur ulama ushul menandaskan bahwa orang yang belum sampai tingkatan ilmunya pada tingkatan mujtahid muthlaq maka wajib bertaqlid kepada salah satu madzhab empat dalam masalah furu’ syari’ah.
6.      Fuqaha ‘Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa bermadzhab bukanlah berarti membuang atau membelakangi al Qur’an dan Hadits seperti tuduhan sementara orang. Namun sebaliknya bermadzhab adalah benar-benar mengikuti Al-Qur’an dan Hadits karena kitab-kitab itu adalah syarah dan Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri.
7.      Imam Sayuti yang hidup pada awal abad 10 H yang terkenal sangat ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Karangan-karangan beliau kurang lebih 600 buah kitab, yang sangat penting dan bernilai tinggi dikalangan Islam. Beliau memperoleh gelar “Amir al-Mukminin Fi al-Hadits” [raja umat Islam dalam ilmu hadits] karena beliau telah menghafal ratusan ribu hadits. Pernah suatu ketika beliau menyatakan dirinya telah mencapai tingkat mujtahid dan terlepas dari madzhab yang diantaranya, yaitu madzhab Syafi’i. Maka segeralah beliau diserang oleh para Imam ulama’ fiqh, mufassir, muhaddits dan ahli ushul dengan alasan dan dalil yang sangat jitu dan tepat. Akhirnya beliau dengan jujur dan penuh kesadaran mencabut pernyataannya dan kembali bertaqlid serta bermadzhab dengan madzhab Syafi’i.
8.      Madzhab Syafi’i dilihat dari segi sumber atau dasarnya, lebih unggul dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain.

Sedangkan tujuan organisasi ini adalah Li I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa al-Muslimin dalam rangka mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i Radliyallahu ‘anhu. Tujuan ini merupakan penggabungan dan tujuan organisasi dan asas organisasi sebelum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 diberlakukan. Peserta Muktamar ke-8 menghendaki agar asas organisasi terdahulu tidak dihilangkan dengan adanya ketentuan Asas Tunggal. Kompromi yang dapat dilakukan adalah memindahkan pernyataan tentang asas Islam tersebut ke dalam tujuan organisasi, sehingga makna esensial asas tersebut tidak hilang.

4.      Lambang Organisasi
Lambang Organisasi Nahdlatul Wathan adalah “Bulan Bintang Bersinar Lima”, dengan warna gambar putih dan warna dasar hijau. Lambang ini memliki makna, sebagai berikut :
a)      Bulan melambangkan Islam
b)      Bintang melambangkan Iman dan Taqwa
c)      Sinar Lima melambangkan Rukun Islam
d)     Warna gambar putih melambangkan ikhlas dan istiqomah
e)      Warna dasar hijau melambangkan selamat bahagia dunia akhirat

5.      Badan-Badan Otonom Organisasi
Organisai Nahdlatul Wathan merupakan organisasi kader, yang memiliki badan-badan otonom sebagai wahana pengkaderan bagi kader-kader organisasi di masa depan. Badan-badan otonom tersebut, terdiri dari:
1.      Muslimat Nahdlatul Wathan [Muslimat NW]
2.      Pemuda Nahdlatul Wathan [Pemuda NW]
3.      Ikatan Pelajar Nabdlatul Wathan [IPNW]
4.      Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan [HIMMAH NW)
6.      Persatuan Guru Nahdlatul Wathan [PGNW]
7.      Jam’iyyatul Qura’ wal Huffazh Nahdlatul Wathan
8.      Ikatan Sarjana Nahdlatul Wathan [ISNW]
9.      Ikatan Puteri Nahdlatul Wathan [Nahdliyat NW], dan
10.  Badan Pengkajian, Penerangan dan Pengembangan Masyarakat Nahdlatul Wathan [BP3M]
Badan-badan otonom ini masing-masing mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Nahdlatul Wathan. Badan-badan otonom ini bilamana hendak mengadakan hubungan atau tindakan keluar harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Pengurus Besar dan restu Dewan Mustasyar Pengurus Besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar