WELCOME TO HIMMAH NW's BLOG

Minggu, 29 April 2012

PENGEMBARAAN MENUNTUT ILMU



A.    PENDIDIKAN FORMAL DI LOMBOK DAN BERGURU PADA KYAI LOKAL
Pengembaraan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan di dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji [membaca Al Qur’an] dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh Ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Madjid. Pendidikan yang didapatkan dari Ayahnya ini, dimulai sejak berusia 5 tahun. Baru setelah berusia 9 tahun ia memasuki pendidikan formal pada sebuah sekolah umum yang disebut Sekolah Rakyat Negara [Sekolah Gubernemen] di Selong Lombok Timur.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lebih luas lagi pada beberapa kiyai lokal saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai lokal ini, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajani ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Sharf.
Menjelang musim haji tahun 1341 [1923 M], Muhammad Saggaf yang saat itu telah mencapai usia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan diantar langsung oleh ayah dan ibunya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Faishal, H. Ahmad Rifa’i dan seorang kemenakannya. Bahkan ikut serta dalam rombongan ini, salah seorang gurunya, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya.

B.     BELAJAR DI TANAH SUCI MAKKAH
Masa Belajar
Ketika sampai di Makkah Zainuddin Muda belajar pertama kali pada  Syeikh Marzuki, Syeikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil Haram.
Beliau mempelajani ilmu sastra dengan spesifikasi syair-syair Arab kepada ahli syair terkenal di Makkah, yakni Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi. Pada saat itulah ia berkenalan dengan Sayyid Muhsin al-Palembani, seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ternyata ia kemudian menjadi gurunya di Madrasah al-Shaulatiyah. Sayyid Muhsin juga pendiri Madrasah Darul Ulum yang saat itu amat terkenal di Makkah dan sebagian besar muridnya berasal dari Indonesia.
Dua tahun setelah terjadinya huru hara di Tanah Suci Makkah, stabilitas keamanan relatif terkendali. Pada saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalan itu, Zainuddin diajak untuk masuk belajar di sebuah madrasah legendaris di Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini didirikan pada tahun 1219 H, oleh seorang ulama besar imigran India, yaitu Syaikh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi. Madrasah ini adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudi Arabia. Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia.
Muhammad Zainuddin masuk di madrasah ini, pada tahun 1345 H [1927 M], Madrasah al-Shaulatiyah di bawah pimpinan cucu dari pendirinya, yaitu Syaikh Salim Rahtnatullah. Petama kali masuk, ia diantar oleh Haji Mawardi dan langsung menghadap kepada Syaikh Salim Rahmatullah selaku pimpinan [Mudir/ Direktur]. Pada hari pertama masuknya, ia bertemu dengan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat. Di sana juga ia bentemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajan syair pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di madrasah ini.
Setiap thullab baru yang masuk, harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok bagi thullab baru tersebut. Demikian juga dengan Muhammad Zainuddin, ia diuji juga terlebih dahulu. Dan secara kebetulan ia langsung diuji oleh Mudir al-Shaulatiyah sendiri, yaitu Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.
Akhirnya, Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath menentukannya masuk di kelas III. Padahal ilmu Nahwu-Sharaf yang belum dikuasai diajarkan di kelas II. Mendengar keputusan tersebut, ia meminta agar diperkenankan masuk kelas II, dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran Nahwu-Sharaf. Walau pada awalnya Syeikh Hasan bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian ia mengabulkan permohonan sang murid. Maka resmilah ia diterima di kelas II.
Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui ia tergolong murid yang cerdas. Syaikh Salim Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang seringkali datang ke madrasah itu, Penilik madrasah itu menganut faham Wahabi. Dan ia satu-satunya murid Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pentanyaan Penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hukum ziarah kubur, tawassul kepada Anbiya’ dan Auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya. Dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan Penilik itu dengan memuaskan.
Ketekunannya dalam belajar dan bendiskusi juga diakui oleh salah seorang teman sekelasnya di Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, yaitu Syaikh Zakaria Abdullah Bila, seorang ulama besar di Tanah Suci Makkah. Ia mengatakan: “saya teman seangkatan Syaikh Zainuddin, saya telah bengaul dekat dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum padanya. Dia sangat cerdas, akhlaknya mulia. Dia sangat tekun belajar, sampai-sampai jam keluar mainpun diisinya menekuni kitab pelajaran dan berdiskusi dengan kawan-kawannya.”
Prestasi akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal lama belajar normal adalah selama 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII, VIII dan IX.
Dengan tingkat kecerdasan [IQ] yang sangat tinggi ini, Syaikh Zakaria Abdullah Bila mengatakan, “Syeikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kegeniusannya yang sangat tinggi dan luar biasa, saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, karibku, dan kawan sekelasku. Saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi dikala saya dan dia bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah As-Saulatiyah Makkah.”
Lebih jauh Syaikh Zakaria menceritakan: “Pernah sehari sebelum ujian, saya mengambil sebuah kitab di perpustakaan secara diam-diam dan membawanya pulang Kitab itu hanya satu di perpustakaan, yang berisi mata pelajaran yang akan diujikan esok harinya. Hal ini saya lakukan dengan sengaja agar Syaikh Zainuddin tidak bisa menelaahnya, sehingga dalam ujian nanti dapat mengalahkannya. Ternyata keesokan harinya dalam ujian, dia benhasil menjawab semua, pertanyaan dengan sangat baik dalam bentuk syair [puisi] dalam bahasa Arab.”
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berhasil menyelesaikan studinya di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah pada tahun 1351 H. [1933 M] dengan predikat istimewa [Mumtaz]. Predikat istimewa tersebut disertai pula dengan perlakuan yang istimewa dari Madrasah al-Shaulatiyah.
Ijazahnya ditulis tangan langsung oleh seorang ahli khat terkenal di Makkah saat itu, yaitu al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari Direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Kemudian ijazah tersebut ditanda tangani oleh beberapa orang gurunya. Ijazah tersebut diserah terimakan kepadanya pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H.
Setelah tamat di Madrasah al-Shauladyah, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Tetapi bermukim lagi di Makkah selama 2 tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar yaitu Haji Muhammad Faishal. Dua tahun ini dimanfaatkannya untuk belajar, antara lain belajar ilmu Fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani.
Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh di Tanah Suci Makkah adalah selama 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Berarti sampai pulang ke kampung halamannya, ia sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.

Guru-gurunya di Masjid al Haram dan Madrasah al-Shaulatiyah
Selama dalam pengembaraannya menuntut ilmu pengetahuan di Tanah Suci, dan Masjid al-Haram hingga Madrasah al-Shauladyah, ia telah menuntut ilmu dari beberapa orang guru. Mereka adalah sebagai berikut :
1.      Maulana wa Munabbina Abul Barakat al-Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaith Hasan Muhammad al-Masysyath al-Maliki
2.      A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
3.      A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani al-Syafi’i;
4.      A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
5.      A1-’Allamah al-Syaikh Marzuqi al-Palimbani;
6.      A1-’Allamah al-Syaikh Abu Bakar al-Palimbani;
7.      Al-’Allamah al-Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
8.      A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili al-Syafi’i;
9.      Al-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi al-Syafi’i;
10.  A1-’Allamah aI-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
11.  A1-’Allamah al-Muhaddits al-Kabir al-Syaikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
12.  A1-’Allamah Muhaddits al-Syaikh Abdus Sattar al-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kuthi al-Maliki;
13.  A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syibli al-Hanafi;
14.  A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbiall-hanafi;
15.  Al-Syaikh Muhsin al-Musawa al-Syafi’i;
16.  Al-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
17.  Al-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
18.  A1-’Allamah al-Syaikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
19.  A1-‘Allamah al-Sharfi al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
20.  Al-’Allamah al-Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
21.  A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Ahmad Dahian Shadaqi al-Syafi’i;
22.  A1-’Allamah al-Mu’arnikh al-Syaikh Salim Rahmatullah al-Malild;
23.  A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Gani al-Maliki;
24.  A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Arabi al-Tubani al Jazairi al-Maliki;
25.  A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
26.  Al-’Allamah al-Syaikh al-Wa’idh al-Syaikh Abdullah al-Fans;
27.  A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa;
Di dalam mengkaji atau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, ia rnempelajarinya sesuai dengan konsentrasi dan spesialisasi dan masing-masing guru. Untuk ilmu Tajwid, A1-Qur’an, dan Qira’at al-Saba’ah, ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Jamal Mirdad;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Arba’in;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Lathif Qari’;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad ‘Ubaid.
Sementara pada disiplin ilmu Fiqh, Tashawwuf, Tauhid, Ushul Fiqh dan Tafsir, beliau belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili;
5. A1-’Allamah al-Faqih al-Syaikh Abdu1 Hamid Abdur Rabb al-Yamani;
6. A1-’Allamah al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
7. A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lahaji al-Farisi;
Pada disiplin ilmu ‘Arudl [syair bahasa Arab], ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Ghani al-Qadli;
2. A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi;
Pada disiplin ilmu Falak beliau belajar pada:
1. A1-’Allamah Kiyai Salim Cianjur;
2. A1-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah;
3. A1-’Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan;
Pada disiplin ilmu Hadits, Mushthalah al- Hadits, Mushthalah at-Tafsir, Fara’idh, Sirah/ Tarikh, dan berbagai ilmu gramatika bahasa Arab [Nahwu, Sharf], ia belajar pada:
1.      A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
2.      A1-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
3.      A1-’Allamah al-Mubaddits al-Kabir al-Syaikh umar Hamdan;
4.      A1-’Allamah al-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
5.      Maulana wa Murabbina Abi al-Barakat al-’Allamah Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath Maliki;
6.      Al-Sharfi al-Mahir al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
7.      A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
8.      A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al- Hanafi;
9.      A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
10.  A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi;
Pada ilmu ‘Awrad, ia belajar pada:
1.      A1-’Allamah Kiyai Falak Bogor;
2.      A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa al-Maghrabi;
Sedangkan pada disiplin Ilmu al-Khath [Kaligrafi bahasa Arab, Ia belajar pada:
1.      Al-Khaththath al-Syaikh Abdul Aziz Langkat;
2.      A1-Khaththath al-Syaikh Muhammad al-Rais al-Maliki;
3.      A1-Khaththath al-Syaikh Daud al-Rumani al-Fathani.
Jika diklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang mazhab yang berbeda, maka akan terlihat katagorisasi mazhab sebagai berikut:
1.      11 orang bermadzab Syafi’i;
2.      6 orang bermadzab Hanafi; dan
3.      11 orang bermadzab Maliki.
Berdasarkan katagorisasi mazhab di atas terlihat bahwa semua gurunya masih berada dalam satu faham teologis, yakni faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorangpun gurunya yang menganut faham yang berbeda, seperti Mu’tazilah, Syi’ah ataupun Wahabi.
Dalam konteks menuntut ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama yang bersifat praktis, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menekankan pemenuhan aspek-aspek moralitas, seperti sikap efektif dalam memilih guru dan sikap hormat terhadap guru. Keduanya merupakan jalinan sinergis yang bermuara pada kemanfaatan ilmu. Dalam terminologi agama, kemanfaatan ini dikenal dengan istilah barakah, yang secara etimologi berarti ziyadah al-khairi fi al asyya’ ‘ala ma tsabata fiha al khair [bertambahnya kebaikan pada sesuatu yang mengandung unsur kebaikan].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar